Thursday, August 11, 2011

Asal-usul QWERTY pada Keyboard

Keyboard mesin ketik maupun komputer standar pasti menggunakan penataan enam huruf QWERTY pada bagian atas kiri. Bagaimana sejarahnya?

Rancangan QWERTY diciptakan pada 1873 ketika Christopher Latham Sholes memperbaiki model awal mesin ketiknya agar memiliki rancangan pengetik yang lebih cepat dan lebih efisien untuk ‘E. Remington and Sons’.

Sholes menyadari, rancangan alfabet kunci pada model asli cenderung macet. Karenanya, ia mengubah urutannya dan menyebarkan pasangan alfabet paling umum di bagian paling jauh.

Model QWERTY Sholes seperti dikutip dari berbagai sumber, diberi nama Remington dan mulai tersedia sebagai mesin ketik komersial pertama pada 1974. Sejak itu, banyak alternatif QWERTY tercipta.
Termasuk, keyboard Dvorak Simplified (nama ini diambil dari nama profesor dan pencipta August Dvorak) dan rancangan keyboard Colemak. Meski keyboard baru ini dirancang untuk meningkatkan kecepatan mengetik semabari menjaga pertimbangan egonomis, QWERTY terus menjadi standar hingga kini.

“Berkat keyboard elektronik, QWERTY tak diperlukan lagi. Namun, banyak orang telah terbiasa menggunakan rancangan ini,” ujar Robert L. Goldberg dari program ergonomis University of California.
sumber: inilah.com

Wednesday, August 10, 2011

Kisah Penyebar Islam Minang Syekh Piyobang (Gaek Cukua Sabalah)

makam syekh piyobang (dok. pemda sumbar)
Di Sumatra Barat terdapat kisah ulama Heroik saat menyebarkan Islam. Salah satunya adalah kisah Syekh Piyobang, berkaitan dengan ‘Gaek Cukua Sabalah’ (orang tua yang belum selesai bercukur rambut).

Kisah ini  beredar pada semua umur, dan menyebar tak di satu tempat. Seorang ibu separuh baya, mengaku telah mendengar cerita ‘Gaek Cukua Sabalah’ sejak masih duduk di kelas 3 Pendidikan Guru Agama, Sawahlunto, Sumatera Barat.

“Guru saya, Pak Azhar, yang menceritakannya,” ujar Zur, 54 tahun, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Kompleks Belimbing Permai. Kisah yang dikenang Zur, Syekh Piyobang adalah ulama berilmu tinggi, dan memiliki karomah.

Dari sejumlah literatur, bersama dua temannya, Haji Miskin dan Haji Sumanik, Syekh Piyobang dikenal sebagai ulama pembaru. Di abad 18, Syekh Piyobang menentang pelaksanaan ajaran Islam disandingkan dengan budaya.

Bagaimana kisah Gaek Cukua Sabalah menjadi legenda Syekh Piyobang? Disebutkan cerita ini dimulai saat sang ulama sedang bercukur di sebuah tempat. Saat rambutnya belum selesai dipotong, ulama ini bergegas ke belakang, dan mengaku melihat Makkah terbakar. “Dari cerita yang melegenda, beliau bergegas pergi ke Makkah (Ka’bah) untuk memadamkan api,” cerita Zur.

Kisah sama juga dituturkan, Romi, mahasiswa pascasarjana Universitas Negeri Padang. “Katanya orang tua itu Syekh Piyobang yang saat ini makamnya ada di Piyobang, Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten 50 Kota,” ujar Romi.

Menurut cerita, Syekh Piyobang saat memadamkan api di Makkah bertemu sejumlah orang Payakumbuh yang sedang naik haji. “Mereka bilang bertemu orang tua yang rambutnya baru dicukur sebelah, dan dia ikut memadamkan api di Makkah,” kata Romi.

Kisah 'Gaek Cukua Sabalah' yang diyakini sebagai Syekh Piyobang memadamkan kebakaran di Makkah memang tak tercatat pada literatur. Kisah ini hanya diceritakan turun-temurun oleh orangtua pada anak-anaknya. 

Menurut sejarawan Universitas Andalas, Prof Gusti Asnan, cerita ini memang berkembang di masyarakat Minang. Sejauh mana kebenarannya? “Saya tak bisa memastikan ini, orang tua ini katanya memiliki karomah (keramat) setara wali Allah, mungkin saja bisa ini terjadi,” katanya.

Ia juga mengaku sulit membuktikan apakah orang tua ini Haji Piyobang. “Tapi banyak yang menghubungkannya dengannya (Syekh Piyobang),” kata Gusti.

sumber: vivanews

Kisah Wali Pitu di Bali

Kalau di Jawa ada istilah Wali Songo, tokoh-tokoh penyebar Islam yang jumlahnya sembilan, di Bali ada pula istilah Wali Pitu. Bagaimana kisahnya dan siapa saja Wali Pitu itu?

Syiar Islam di Bali memiliki kisah tentang keberadaan Wali Pitu. Mereka penyebar Islam yang jumlahnya tujuh orang. Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Denpasar, Mustofa Al Amin, nama Wali Pitu merupakan hasil penelitian dari Habib Toyib Zein Assegaf.

"Beliau mendapat isyarat secara kesufian, tentang adanya ketujuh orang penyiar Islam di Bali ini. Berdasarkan isyarat kesufian itu, beliau melakukan penelitian lapangan, dan fakta membuktikan isyarat itu benar adanya. Itulah yang dikenal dengan istilah Wali Pitu," terang Mustofa kepada VIVAnews.com.

Meski fakta membenarkan keberadaan Wali Pitu, namun penetapan nama itu sendiri bukan berdasarkan kesepakatan umat muslim Bali. Kendati begitu, bukan berarti kiprah Wali Pitu tidak diakui dalam konteks syiar Islam di Bali.
"Validitasnya tidak bisa menyamai Wali Songo, karena kiprah mereka dari cerita ke cerita, bahwa Wali Pitu memiliki pengaruh dan karomah yang sangat penting bagi perkembangan Islam di Bali," ulasnya.

"Artinya tidak salah jika umat muslim menjadikan Wali Pitu sebagai panutan. Hanya saja, bagi para peziarah makam Wali Pitu ini tetap tidak boleh menyimpang dari syariah."

MUI sendiri tidak mempermasalahkan keberadaan Wali Pitu ini. Masyarakat menerima atau tidak keberadaan mereka, imbuhnya, itu merupakan keyakinan masing-masing. Sebab, Wali Pitu memiliki peranan masing-masing kepada masyarakat di zamannya, sembari melakukan syiar Islam. "Bagi kami Wali Pitu itu tidak ada masalah," tegasnya.

Ia melanjutkan, MUI Denpasar mengapresiasi upaya penelitian dan hasilnya tentu yang berkaitan dengan sejarah perkembangan umat Islam di Bali termasuk para tokoh, seperti Wali Pitu, yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan tersebut.

Penelitian dan kajian lebih lanjut, sangat penting dan mendesak sifatnya untuk segera dilakukan. "Wali Pitu ini hendaknya menggugah umat Islam Bali khususnya dan Nusantara pada umumnya untuk meningkatkan semangat mereka berdakwah dengan cara dan pendekatan yang moderat, toleran dan damai, di samping berpihak pada kebenaran dan kejujuran, keuletan dan keberanian, serta keadilan dan ketulusan seperti diperankan tokoh-tokoh tersebut," ajaknya.

"Mereka juga harus lebih memahami kesejarahan mereka di Bali yang memiliki keunikan dan kekhasan."

Berikut mereka yang disebut Wali Pitu:
1. Pangeran Mas Sepuh alias Raden Amangkuningrat
2. Habib Umar Maulana Yusuf
3. Habib Ali Bin Abu Bakar Bin Umar Bin Abu Bakar Al Khamid
4. Habib Ali Bin Zaenal Abidin Al Idrus
5. Syeh Maulana yusuf Al Magribi
6. Habib Ali Bin Umar Bafaqih
7. Syeh Abdul Qodir Muhammad

sumber: vivanews

Masjid Laweyan, Akulturasi Islam-Hindu (Bekas Pura, Juga)

Masjid Ki Angeng Henis yang dikenal sebagai Masjid Laweyan di Solo, Jawa Tengah memiliki kekhasan dalam arsitekturnya yang merupakan bukti akulturasi Islam-Hindu. Seperti apa?

Bila menyinggahi Kampung Batik laweyan Solo, Anda akan melihat bangunan masjid unik dan khas Hindu. Ssebelumnya masjid tersebut merupakan bangunan pura. Namun, saat ini bekas bangunan pura sulit ditemukan, karena Masjid Laweyan sudah mengalami pemugaran berulang kali.

Menurut salah seorang pengurus Masjid Laweyan, Adiyanto, masjid ini yang tertua di Solo. Sebab, pendiri masjid tersebut merupakan sosok cikal bakal penerus takhta di tiga kerajaan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. “Sebelum dibangun masjid, dulunya merupakan bangunan pura sebagai tempat ibadah umat Hindu,” kata dia.

Awal mula berdirinya masjid itu tidak lepas dari pengaruh  Ki Ageng Henis yang bersahabat baik dengan seorang Pemangku atau Pandhita Umat Hindu. Dari persahabatan itu, lambat laun Pemangku tersebut mulai tertarik mempelajari agama Islam yang ajarannya berasal dari Al Quran dan hadits.

Setelah itu, Sang Pemangku itu langsung tertarik belajar agama Islam dan mengikrarkan diri memeluk agama Islam mengikuti jejak Ki Ageng Henis. Bangunan pura yang sebelumnya menjadi tempat ibadah agama Hindu langsung diserahkan ke Ki Ageng Henis untuk diubah menjadi bangunan langgar (musala). Dalam perkembangannya, langgar itu kemudian berubah menjadi masjid.

Masjid Laweyan, menurut Adiyanto, berdiri sejak tahun 1546, di masa Kerajaan Pajang. Kerajaan tersebut merupakan cikal bakal kerajaan Mataram yang kemudian pecah menjadi Keraton Kasunanan Surakarta dan Keraton Mataram Ngayogyakarta.

”Ki Ageng Henis ini sebagai penasihat  spiritual Kerajaan Pajang. Beliau merupakan keturunan Raja Majapahit dari silsilah Raja Brawijaya-Pangeran Lembu Peteng-Ki Ageng Getas Pandawa lalu Ki Ageng Selo. Sedangkan keturunan Ki Ageng Henis saat ini menjadi raja-raja di kraton Kasunanan dan Mataram,” katanya.

Bentuk arsitek masjid yang mirip seperti Kelenteng Jawa, juga menjadi ciri khas Masjid Laweyan yang berbeda dengan bentuk arsitek masjid pada umumnya. ”Ada juga kentongan besar yang usianya ratusan tahun, tapi jarang dibunyikan, karena digantikan dengan bedug. Sisa bangunan yang usianya tua, adalah dua belas tiang utama masjid dari kayu jati,” kata dia.

Bentuk arsitektur lainnya, terdapat tiga lorong jalur masuk di bagian depan masjid. Tiga lorong itu menandakan tiga jalan menuju kehidupan yang bijak yakni Islam, Iman dan Ihsan.

Meski Masjid Laweyan merupakan peninggalan Keraton Kasunanan Surakarta, saat ini pemeliharaannya justru lebih didominasi masyarakat sekitar yang rata-rata sebagai pengusaha batik. Ritual tradisi budaya keraton juga jarang digelar di Masjid Laweyan.

”Kalau sewaktu pemerintahan Kerajaan Pajang, masjid ini memang menjadi pusat pembelajaran. Saat ini hanya menjadi tempat ibadah biasa, tapi pengunjung dan peneliti dari luar daerah tetap terus berdatangan,” kata Adiyanto.

sumber: vivanews

Wednesday, August 03, 2011

Sejarah Pinisi

Pinisi, menurut Wikipedia, merupakan kapal layar tradisional khas asal Indonesia, berasal dari suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang; umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau. Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengarungi tujuh samudera besar di dunia

Sejarah Pinisi berasal dari mitologi sosok Sawerigading yang berlayar dari tanah luwu untuk mempersunting seorang putri bernama We Codai. Keberangkatannya berlayar menggunakan sebuah kapal dari sebuah pohon bernama Welenreng yang ditempa untuk dijadikan perahu. Namun, perahu ini diterpa badai dan akhirnya pecah. Bagian perahu yang hancur lebur ini kemudian terdapar di tiga tempat: 
1. Haluan dan buritan terdampar di Lemo-lemo. 
2. Lambung kapal terdampar di sebuah desa bernama Ara
3. Layarnya terdampar di Bira. 

Masyarakat ketiga daerah ini mengumpulkan puing puing perahu Sawerigading dan mereka ulang bentuknya.
Dari sini awal kemunculan  mitologi bahwa ketiga daerah tersebut memiliki keahlian spesifik berdasarkan temuan puing-puing kapal tersebut. Orang Bira yang diyakini mendapatkan layar kelak memiliki keterampilan berlayar dan navigasi. Orang Ara memiliki kemampuan spesifik dalam pembuatan lambung kapal dan sebaliknya orang Lemo-lemo lebih mahir membuat haluan dan buritan perahu. Ketiga daerah ini berada di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan,yang kemudian tersohor sebagai pembuat perahu pinisi.
 
Pada awal abad ke-18 para pelaut Bira menakhodai Pinisi Padewakang hingga ke pantai utara Australia demi memburu teripang kualitas terbaik. Padewakang yang mampu membawa muatan hingga 140 ton berkeliling menghimpun barang dari berbagai pelosok Nusantara; rotan, lilin, agar-agar, sirip hiu, kulit, daging kering, kulit penyu, sarang burung, dan tikar rotan; dan menjualnya kepada saudagar kapal jung dari China. Guncangan politik lokal tahun 1950-an, kelangkaan kayu, dan perkembangan teknologi kapal motor membuat kejayaan Semenanjung Bira memudar. Namun, punggawa Semenanjung Bira menolak menyerah.
 
Thomas Gibson dalam bukunya, Kekuasaan Raja, Syaikh, dan Ambtenaar-Pengetahuan Simbolik & Kekuasaan Tradisional Makassar 1300–2000 (Penerbit Ininnawa, 2009), mengurai diaspora tukang kapal Desa Ara dan Lemo-lemo yang meninggalkan Semenanjung Bira demi melanjutkan jalan hidup mereka sebagai punggawa pinisi.
 
Menurut Gibson, punggawa Desa Lemo-lemo sejak awal abad ke-19 mulai meninggalkan Semenanjung Bira, punggawa pinisi di mana-mana. ”(Sementara) para pembuat perahu Desa Ara (hingga awal 1950-an tetap) bergantung kepada saudagar kaya di Bira … (Namun) pemberontakan Darul Islam (membuat) pangkalan perahu di Bira dan Bone ditutup … Para punggawa (Desa Ara) mulai (pergi dan) membuka kontak dengan saudagar Tionghoa di seluruh Indonesia. Mereka kembali ke Ara, merekrut awak pembuat kapal (yang lantas dibawa ke) tempat para pemesan. Di Pulau Laut, Kalimantan Selatan, dibangun perahu yang bobotnya hingga 600 ton,” tulis Gibson.
 
Gibson mencatat, pada 1988 koloni orang Ara tersebar di Indonesia. Mulai dari Jampea, Selayar, Sulawesi Selatan; Merauke dan Sorong di Papua; Kupang di Nusa Tenggara Timur; Ambon dan Ternate di Kepulauan Maluku; Tarakan, Balikpapan, Batu Licin, Kota Baru, Banjarmasin, Sampit, Kuala Pembuangan, Kumai, dan Pontianak di Kalimantan; Jakarta; Surabaya; hingga Belitung, Palembang, dan Jambi di Sumatera.

sumber: kaskus dan wikipedia

Monday, August 01, 2011

Sejarah Malam Lailatul Qadr

Menurut Riwayat Ibnu Abbas r.a., Suatu ketika Malaikat Jibril menceritakan kpd Nabi Muhammad S.A.W. kisah seorang lelaki pd Zaman Bani Israil yg berjuang fisabilillah terus menerus selama 1000 bulan atau lebih kurang 84 tahun.Pada malam hari lelaki itu akan mengerjakan ibadah dgn tekun & pd siang hari dia berjuang melawan musuh yg merusak agamanya.

Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bercerita kepada para sahabatnya tentang pejuang dari Bani Israil tersebut yang tak lain adalah Sama’un.

Para sahabat ketika mendengar cerita tersebut, merasa kecil hati dengan amal ibadah dan perjuangan orang tersebut. Mereka ingin melakukan amal ibadah dan perjuangan yang sedemikian rupa. Hanya saja umur kehidupan mereka jarang lebih dari enam puluh atau tujuh puluh tahun. Di dalam hadist disebutkan oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam: “Usia ummatku sekitar enam puluh atau tujuh puluh tahun”. 

Ketika para sahabat sedang berpikir dan merenung, datanglah malaikat Jibril kepada Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam membawa wahyu dan kabar kembira kepada Rasulullah dan para sahabatnya. Berkata malaikat Jibril Alaihis Salaam: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menurunkan kepadamu ya Rasulullah surat Al Qadr, di mana di dalamnya terdapat kabar gembira untukmu dan ummatmu, di mana Allah menurunkan malam Lailatul Qadr, di mana orang yang beramal pada malam Lailatul Qadr mendapatkan pahala lebih baik dan lebih besar daridari pada seribu bulan. Maka amal ibadah yang dikerjakan ummatmu pada malam Lailatul Qadr lebih baik dari pada seorang ahli ibadah dari kalangan Bani Israil yang beribadah selama delapan puluh tahun”.

Lalu malaikat jibril membacakan surat Al Qadr yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemulian (Lailatul Qadr). “Dan tahukah kamu apa malam kemuliaan?. Malam kemulian itu lebih baik dari seribu bulan”. Pada malam itu turun para malaikat dan ruh dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan”. “Malam itu penuh kesejahtraan sampai terbit fajar”. Maka dengan turunnya wahyu tersebut yang penuh dengan kabar gembira, Rasulullah Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabatnya merasa senang dan gembira dengan adanya Lailatul Qadr. (cuplikan dari kaskus)