Friday, April 29, 2016

Tari Topeng Sidakarya atau Pajegan, Apa Itu?

sumber foto: nusabali.com


Seni pentas ritual Topeng Pajegan atau Topeng Sidakarya sangat terkenal di Bali. Ingin tahu lebih jauh tentang tari topeng ini? Kadek Suartaya, SSKar, MSi, Dosen Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar menuliskannya untuk nusabali.com.

Pertunjukan topeng yang umumnya dibawakan secara solo oleh seorang penari ini tidak hanya hadir dalam prosesi keagamaan di halaman utama pura namun juga  berfungsi dalam upacara perkawinan, potong gigi, hingga ritus ngaben. 

Tema-tema kisah yang dibawakan bersumber dari babad, cerita semi sejarah, dengan puncak penampilan figur topeng berkarakter angker yang disebut Sidakarya. Mungkin karena itu, Topeng Pajegan juga disebut Topeng Sidakarya. Diantara sembilan tari Bali yang baru-baru ini diakui oleh Unesco, PBB, sebagai warisan budaya dunia, salah satunya adalah Topeng Sidakarya.

Seni pertunjukan Wayang Wong,  Barong Kedingkling, dan Barong Berutuk misalnya, juga memakai tapel tapi tak pernah disebut sebagai topeng. Wayang Wong yang berangkat dari sumber epos Ramayana seluruh pemerannya memakai tapel atau topeng. Barong Kedingkling yang biasanya hadir dalam tradisi ngelawang mempergunakan tapel figur-figur penting Ramayana. Begitu juga Barong Berutuk yang disakralkan di Desa Trunyan, Bangli, semua perannya menggunakan topeng bernuansa primitif. Namun ketiganya tak disebut seni pertunjukan topeng.  Rangda dan tari Jauk juga tidak digolongkan genre topeng.

Seni pertunjukan bertopeng tergolong sangat tua dan hampir dapat dijumpai di seluruh dunia. Di Bali, kesenian yang diduga berkaitan dengan topeng termuat dalam prasasti Bebetin yang berangka tahun 869 Masehi. Dalam prasasti itu disinggung istilah partapukan yang artinya perkumpulan topeng. Sedangkan bagaimana bentuk dan apa lakonnya tidak jelas. Pertunjukan topeng diduga merupakan kreativitas seniman Bali yang bukan pengaruh kesenian Majapahit. 

Pada mulanya kesenian ini muncul pada era kejayaan Gelgel,  akhir abad ke-17. Konon I Gusti Pering Jelantik membawakan drama tari seorang diri dengan memakai topeng rampasan leluhurnya, Patih Jelantik, ketika Gelgel menaklukkan  Blambangan. Saat konflik politik mengguncang Gelgel, topeng-topeng itu diboyong ke Desa Blahbatuh sekitar tahun 1879 yang hinggi kini dikeramatkan di Pura Penataran Topeng. 

Pada tahun-tahun berikutnya, setelah pementasan di puri Gelgel tersebut, penampilan Topeng Pajegan itu kemudian menjadi kebiasaan di tengah-tengah masyarakat Bali, terutama ditradisikan saat prosesi keagamaan, odalan misalnya. Perkembangannya kemudian muncul Topeng Panca, drama tari topeng yang dibawakan oleh lima orang penari yang lebih mengarah sebagai seni pentas tontonan non ritual. Perkembangan ini bukannya membuat Topeng Pajegan surut, justru seni pentas ini kian multifungsi dalam beragam tingkatan dan hirarki upacara agama dan ritus kehidupan masyarakatnya.

Pementasan Topeng Sidakarya dimulai dengan penampilan tokoh yang berkarakter keras. Warna tapel-nya gelap kemerah-merahan, mata mendelik dan disertai sepasang kumis hitam tebal. Gerakannnya tangkas, gagah dengan ayunan langkah berwibawa. Sehabis tokoh ini, biasanya disambung dengan kemunculan topeng yang berkarakter tua renta. Rambut, alis, dan kumisnya memutih. Gerakannya lambat terbata-bata namun menampilkan sorot mata yang arif. Kedua figur ini disebut dengan topeng pengelembar, tari lepas, arena tempat pemain mempertontonkan kepiawaannya menari.

Aspek dramatik sebuah pementasan Topeng Pajegan atau Sidakarya baru bergulir ketika muncul tokoh penasar yang lazim memakai tapel setengah terbuka, terutama pada mulut dan matanya. Penasar bertindak selaku narator, komentator, penterjemah, dan pelawak. Tokoh inilah yang mengendalikan alur cerita. Ketika ia kemudian berganti topeng berwatak tampan dengan tata gerakan alus penuh perhitungan, tokoh rajalah yang dibawakannya yang sering disebut topeng dalem atau arsawijaya. Kehadiran topeng dengan ekspresi karismatis ini memberikan perintah sesuatu, mungkin perang dan mungkin perdamaian.

Kisah kemudian berlanjut dengan penampilan tokoh antagonis yang biasanya berwajah ganas dengan gerakan kasar. Menjelang klimaks cerita, akan muncul tokoh-tokoh rakyat jelata dengan aneka tingkah lucunya. Topeng-topeng yang digunakan mengekspresikan cacat fisik seperti mulut sumbing, gigi remuk, mata juling, dan sebagai yang dalam penampilannya disinkronisasikan dengan tata gerak yang mengundang tawa. Penampilan tokoh-tokoh ini berkaitan dengan cerita tapi biasanya sering jauh menyimpang yang cenderung mengarah pada sajian porno-vulgar. Adegan ini biasanya riuh dengan derai tawa penonton.

Apa pun lakonnya pada akhir pementasan Topeng Pajegan adalah figur Sidakarya. Topengnya berwarna putih, matanya sipit, mulut terbuka menyeringai lengkap dengan tonjolan kedua taring atasnya. Sepak terjangnya menakutkan, mengancam, menerjang kiri kanan. Dengus mantra-mantra suci meluncur dari mulutnya. Sembari mengibaskan selembar kain putih, kedua tangannya meragakan gerak-gerak mudra pendeta. 

Pada akhirnya, canang sari yang berisi beras kuning dan segenggam pis bolong kemudian ditebar ke segala penjuru. Sering juga seorang anak ditangkap dan kemudian dilepaskan oleh tokoh ini setelah diberi hadiah sekedarnya. Dipercaya tokoh ini simbol dari Wisnu Murti yang memberi anugrah dan atau legitimasi sebuah upacara. Kepercayaan dan pembenaran/justifikasi itulah yang menyangga keberadaan Topeng Pajegan atau Topeng Sidakarya. 

Tengkorak Zaman Pra Hindu Ditemukan di Buleleng, Bali

blog-sejarah.blogspot.com
foto: nusabali.com
Lihatlah foto di atas. Inilah tengkorak yang ditemukan sudah membatu di Dusun/Desa Banyupoh, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Kamis (14/4). Sebagaimana beritakan nusabali.com, dipastikan pihak Badan Arkeologi Denpasar, tengkorak ini berasal dari manusia zaman perundagian atau zaman pra Hindu.

Dari penelitiannya sejak beberapa hari, Badan Arkelogi Denpasar menemukan sejumlah ciri-ciri dari tengkorak yang sudah membatu dan hancur tersebut. Antara lain, usia ratusan tahun, diperkirakan sudah ada sejak tahun 200 sebelum masehi. “Dari ciri-ciri bentuk dan struktur tengkorak, kuat indikasinya bahwa itu adalah tengkorak manusia zaman perundagian,” ujar Kepala Badan Arkeologi Denpasar, Gusti Made Suarbawa, Senin (18/4).

Kata dia, karakter tengkorak di pinggir Pantai Desa Banyupoh ini, hampir sama dengan penemuan tengkorak di sekitar Pura Pabean, sekitar tahun 2000. Hal sama juga pada temuan tengkorak di sekitar Banjar Asem, Seririt dan Gimimanuk. Menurutnya,  penemuan situs sejarah di pantai utara Pulau Bali, memiliki satu ikatan dari zaman yang sama. 

Apalagi menurut catatan sejarah, pada zaman dahulu pesisir utara Bali sebagai jalur pelayaran. Jadi tidak sedikit manusia pada peradaban tersebut tinggal di pesiisr pantai. Dengan temuan tersebut, pihaknya mengaku akan melakukan koordinasi dengan pihak desa dan desa pakraman setempat. Karena temuan tersebut  berada di sekitar areal suci, kawasan Pura Pulaki. “Kami masih berkoordinasi dengan masyarakat, bagaimana solusinya,” imbuhnya. 

Pihaknya menginginkan agar persepsi keilmuan tentang temuan purbakala ini bisa bersinergi dengan adat setempat. Untuk sementara penemuan tersebut masih di lokasi dan akan dipindahkan ketika keputusan bersama sudah ditetapkan.

Perbekel Desa Banyupoh Made Sukarata mengaku, masih menunggu kesepatakan dari aparat desa, termasuk desa adat. “Kami juga akan rembuk dulu, bagaimana sepatutnya. Baik dari segi adat dan budaya di sini, apakah nanti dikubur atau diserahkan ke Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala,” katanya. 

KIsah Nak Barak dan Pasukan Macan Gading dari Gianyar, Bali

blog-sejarah.blogspot.com
sumber: nusabali.com
Pulau Bali penuh kisah unik yang bersangkut-paut dengan legenda. Kali ini kisah tentang Nak Barak dan Pasukan Macan Gading. Apa itu? Harian Nusa Bali menuturkannya dengan apik pada tanggal 27 April 2016. 

Desa Pakraman Perean, Desa Sebatu, Kecamatan Tegallalang, Gianyar merupakan desa hulu (paling utara) di wilayah Gumi Seni. Kepercayaan Desa tua yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Bangli (Desa Sekaan, Kecamatan Kintamani) ini meyakini, 10 krama Desa Pakraman Perean jadi Pasukan Macan Gading.

Krama adat di Desa Pakraman Perean mencapai 416 kepala keluarga (KK) dengan jumlah 1.515 jiwa. Mereka tinggal di satu banjar adat dan satu banjar dinas, yakni Banjar Perean. Dari 1.515 jiwa krama Desa Pakraman Perean itu, sebanyak 10 orang di antaranya menjadi Pasukan Macan Gading, Kenapa?

Sepuluh (10) krama yang disebut jadi Pasukan Macan Gading ini sejak lahir hingga kakek-nenek berkulit dan berbulu kemerah-merahan. Bahkan, giginya juga kemerahan. Oleh warga setempat, 10 krama mirip albino ini disebut sebagai Nak Barak (manusia merah).

Nak Barak yang ada di Desa Pakraman Perean saat ini paling kecil berusia 9 tahun dan tertua usia 95 tahun. Dari jumlah itu, 4 di antaranya perempuan, selebihnya laki-laki). Mereka masing-masing I Wayan Yudiana, 9 (pria/masih duduk di Kelas III SD), Ni Kadek Puspita Dewi, 12 (wanita/duduk di Kelas VI SD), Ni Made Sadri, 40 (wanita/daha lingsir alias perawan tua), I Made Siram, 42 (pria), I Made Gading, 42 (pria), I Made Sudana, 45 (pria), I Wayan Rauh, 45 (pria), Ni Wayan Jingga, 60 (wanita), Ni Made Raji, 90 (wanita), dan I Wayan Raja, 95 (pria). 

Ciri-ciri lain Nak Barak itu, khususnya yang laki-laki, memiliki karakter kepribadian polos-polos, taat adat, sopan, tak pernah buat onar, dan rata-rata disegani orang lain. Secara umum, mereka dikenal bertubuh kuat, dalam arti lebih tahan terhadap serangan penyakit. Rumah krama Nak Mareh ini berjauhan antara yang satu dengan lainnya. 

Ke-10 krama Nak Barak di Desa Pakraman Perean juga tidak memiliki hubungan keluarga satu sama lain. Namun, di antara 10 krama Nak Barak ini, ada 4 orang di antaranya bersaudara kandung alias kakak-adik asal keluarga berbeda, yakni I Wayan Raja (usia 95 tahun) dan Ni Made Raji (usia 90 tahun) serta I Wayan Rauh (usia 45 tahun) dan I Made Siram (usia 42 tahun).

“Kami di sini juga tidak tahu jelas, apa penyebabnya kok ada saja warga kami lahir sebagai Nak Barak,’’ ungkap Kelian Dinas Banjar Perean, Desa Pupuan, Kecamatan Tegallalang, I Wayan Arus, saat ditemui NusaBali di kediamannya, Minggu (24/4) lalu.

Paparan senada juga disampaikan tokoh Desa Pakraman Perean, Jero Bahu Penanggapan Ketut Sudiasa, 34. Menurut Jero Bahu Sudiasa, berdasarkan penuturan para tetua yang diwarisi secara turun temurun, keberadaan Nak Barak di Desa Pakraman Perean tidak terlepas dari kisah peperangan Kerajaan Gianyar vs Kerajaan Bangli saat memperebutkan wilayah di sekitar Desa Pupuan pada masa silam. Saat itu, sudah muncul sejumlah warga dengan warna tubuh merah. Mereka diketahui kuat-kuat dan kebal serangan musuh. 

Karena kekuatan fisiknya, Nak Barak kemudian dijatikan pepatih oleh Raja Gianyar. Nak Barak pun diutus Raja Gianyar untuk mengamankan batas utara wilayah Gumi Seni. “Para pepatih bertubuh merah itu kemudian dikenal dengan sebutan Pasukan Macan Ggading (Harimau merah, Red),” jelas Jero Bahu Sudiasa.

Jero Bahu Sudiasa menyebutkan, Nak Barak tersebut adalah utusan dari Kerajaan Gianyar untuk mengamankan wilayah utara dari serangan musuh. Saat pasukan Kerajaan Bangli menyerang wilayah utara Gianyar hingga membakar rumah-rumah warga di sekitar Banjar Perean, ratusan krama setempat lari menyebar untuk menyelamatkan diri. 

Ada yang lari ke Banjar Mantring, Desa Petak (Kecamatan Gianyar), ada yang ke Desa Tampaksiring (/Kecamatan Tampaksiring, Gianyar), ada pula ke Banjar Kulub, Desa Tampaksiring (Kecamatan Tampaksiring, Gianyar), bahka ada yang sampai lari ke Banjar Antugan, Desa Jehem (Kecamatan Tembuku, Bangli). Para pelarian ini kemudian diberi nama warga Babanuan. 

Namun, setelah wilayah utara Gianyar aman dan terbebas dari serangan musuh, sejumlah warga Babanuan itu kembali ke Desa Pakraman Perean dan tinggal menetap hingga sekarang. “Warga Babanuan dari pelbagai banjar di Gianyar dan Bangli itu pasti tangkil ke pura-pura di Desa Pakraman Perean setiapkali ada piodalan dan karya. Ini pertanda lingsir-lingsir (tetua) kami dulunya satu rumpun di Desa Pakraman Perean,’’ jelas Jero Bahu Sudiasa.

Jero Bahu Sudiasa juga mendapatkan cerita dari tetuanya bahwa Desa Pakraman Perean kini tidak lagi memiliki purana (sejenis catatan tentang asal-usul desa). Masalahnya, purana itu sudah terbakar di Banjar Mantring, Desa Petak saat rumah warga Babanuan dari Desa Pakraman Perean dibakar oleh pasukan Kerajaan Bangli ketika mengamankan diri di sana. 

Wednesday, April 27, 2016

Sejarah Jam Pasir

blog-sejarah.blogspot.com
sumber foto: rumah cempluk

Orang dulu menandai waktu dengan melihat matahari atau bulan. Hanya saja keakuratannya kemungkinan terkendala cuaca sehingga mereka menciptakan alat seperti jam air dan jam pasir. 

Menurut Wikipedia, asal-usul atau sejarah jam pasir masih kabur. Sebelum jam pasir sudah terdapat clepsydra atau jam air yang kemungkinan sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. 

Berdasarkan American Institute of New York, clepsammia alias jam pasir ditemukan di Alexandria sekitar 150 tahun sebelum masehi. Berdasarkan Journal of the British Archaeological Association jam pasir dipakai sebelum era St. Jerome (tahun 335 M), Gambarnya ditemukan di peninggalan kuno sarcophagus berangka tahun 350 M, (perkawinan Peleus and Thetis), ditemukan Di Roma abad ke-18, dan dipelajari Wincklelmann abad ke-19. 

Jam pasir pernah dipakai di Wesmister sebagai alat pengukur waktu untuk membunyikan bel guna memanggil aggota majelis pada pemungutan suara.